Follow

Rabu, 25 Mei 2016

INTRO [THE HUNGRY BANANA Part 1]


Shining after dark –
  
FOR H.S.M.P 

“Gila bukan berarti mustahil
Masuk akal bukan berarti nyata
Kalau kau mencampur adukkan segalanya,
Kurasa kau butuh 5 ton pottasium”

            Anak itu menguap.
            Mengusap matanya yang disembunyikan kacamata berlensa kuningnya. Ada serat – serat sinar surya yang berhasil membobol tirai kamarnya. Ia memutar mata enggan,tangannya mencoba menggapai – gapai ponsel yang tergeletak damai dimeja tak jauh dari tempatnya duduk.
            Well,dia memang duduk,tapi kesadarannya mungkin masih tersangkut diportal antara dunia game dan realita. Diejanya jam digital yang terpampang diponselnya. Pukul 6 A.M. fantastisnya,cowok berambut pendek ini belum menyentuh ranjangnya sama sekali. Matanya perih,mungkin saja kini bagian putih dimatanya sudah berubah menjadi berseraat merah pekat dan nampak mirip panda.
            Biarlah,toh ujian sudah selesai. Setidaknya itulah yang dipikirkan Ryan saat berusaha mengumpulkan serpihan jiwanya yang masih terombang – ambing diantara dua banyak dimensi.
            Ryan berusaha menggerakkan kakinya yang mulai berat akibat 7 jam menatap layar monitornya untuk memainkan sebuah game yang sedang booming kesukaannya. Diputarnya daun pintu kamar dan bagus! Tak ada satupun manusia yang ada dirumahnya. Tak satupun.
            Well,lumrah memang ia menghabiskan waktunya didepan monitor atau ponselnya sementara orangtuanya sibuk dengan urusan profesi. Itu bukanlah masalah. Hanya saja,kini perut Ryan mulai menggelar sebuah recital,meraung – raung.
            Semandiri – mandirinya seorang remaja laki – laki yang normal, mereka enggak akan bisa mengolah suatu makanan saat kondisi mereka seperti Ryan sekarang. Oh,betapa mungkin katak sudah tertawa melihatnya,Ryan hanya bisa mendecakkan lidah saat mendapati meja makan,kulkas kosong dan tak ada satupun bahan mentah yang bisa diolah.
            “Oh,Thanks God.” Gumam Ryan pasrah.
Dan disinilah dia berdiri,menatap ranjangnya dengan rasa kantuk luar biasa,belum lagi sympony perutnya masih berlanjut.
            “Mungkin kalau aku lanjut nge – game,semua ini akan jadi sebuah kebohongan.” Ujarnya sembari menarik sudut bibirnya yang kering,menyeringai aneh saat cowok penggila buah pisang ini berjalan dengan gaya ambigu menuju laptopnya,daan.
            “BRAK!”
Bukannya sukses kembali kezona nyaman,kaki Ryan terpeleset ubin licin bekas tumpahan cairan pembersih lantai yang dititipkan bundanya tadi malam. Sungguh,mungkin Dewi Fortuna tak sedang lewat dihadapannya.
         Ryan ingin mengumpat,tapi mulutnya penuh dengan lumpur. Anehnya,lumpur dimulutnya berasa cokelat super mahal yang biasanya ia makan waktu weekend. Tapi,itu bukan hal yang paling membuatnya bingung kali ini. Pemandangan kamar tempatnya jatuh telah berubah 180 derajat. Kini dihadapan matanya terhampar sungai keruh berwarna cokelt namun beraroma manis dan berasa hazelnutt.
      Terdapat hiruk – pikuk disana,bunyi lonceng kastil penanda pagi tiba dan gelak – tawa segerombol anak kecil. juga seorang penjaja koran yang ramah menceritakan headline news hari ini.

      Tunggu dulu,orang? Bukan. Percaya atau tidak,bukan orang biasa yang ada disana,melainkan makhluk menyerupai manusia dengan rambut buah,mirip buah yang berevolusi. Dimensi yang terhampar didepan matanya kali ini nampak tak stabil dan dipenuhi banyak celah.
“Yea! That way. Thanks god!” secepat mungkin Ryan mengumpulkan semua tenaga yang tersisa ditubuhnya untuk terpusat dilututnya. Mencoba berlari kearah retakan dimensi.
“KLONTANG! PRAAKK!”
“Sekarang apa lagi?” Pikirnya beringas. Dimuntahkannya cairann lumpur hazelnutt yang tadi sempat dia telan tadi. Kupingnya serasa disemprot dengan jutaan kosa – kata alien yang jelas enggak dipahaminya.
Ryan dilempar dengan segulung koran ditangannya. Dihadapannya berdiri tegak seorang pria  pendek berkulit merah dan berambut hijau kerucut mirip tomat. Mulutnya masih berkomat – kamit,telunjuknya yang berlendir berkali – kali ditusukkan kepipi Ryan.
“Jalan hgdauilhalidgb lkahd.ayldu a/codp” rasanya itu yang keluar dari mulut pria tomat dihadapan Ryan. Geram,dia berdiri.
“Aku enggak tau kamu ini apa,dan ini dimana! Yang kutahu berhenti mengomel dan harusnya kamu enggak pernah menggagalkan aksi melarikan diriku bodoh!” Ryan menunjuk lubang dimensi yang sudah sepenuhnya menghilang.
Pria itu menggaruk kepalanya sejenak,kemudian menampar kedua telinga Ryan dengan kedua tangannya yang berlendir.
“Argh! Apa maumu,huh?!” Ryan berjengit saat lendir tersebut menggerogoti saraf pendengarannya.
“Sudah kedengaran?” pria tomat itu tersenyum mengulurkan tangannya. “Kurasa kau orang baru,jadi enggak paham bahasa kami. Sekarang harusnya kamu sudah paham.”
Ryan hanya bisa mengetuk – etuk telinganya yang jadi gatal sambil mengangguk enggan. “ Ngomong – ngomong ini dimana? Rasanya tadi aku terpeleset dilantai kamarku bukan disini.”
Pria itu tidak menjawab,hanya menunjuk segulung koran yang kugenggam. Kubuka,lembaran berwarna cokelat yang lengket. Ada tulisan “sapņot” dimana – mana. Dengan konyol Ryan membuka mulut sotoy.
“Tempat ini sapņot?”
Lagi,pria itu mengangguk. “sapņot.” Ujarnya. “Adalah tempat dimana takkan ada orang yang kelaparan. Sugestimu pasti hebat sekali sampai portal dimensi ini terpanggil.” Pria itu membalik badan,menjauh. “Ngomong – ngomong,namaku Jeff,pastikan tak ada noda diususmu saat aku memenggalmu dipertemuan yang selanjutnya.
Kelu. Rasa laparnya sudah hilang sejak kakinya menapak tanah asing ini. Angin menderu menuntut pembalasan. Padang jamur meraungkan lagu penderitaan. Jelas ini bukanlah hal bagus.
Seorang anak perempuan normal. Manusia! Ya ! Manusia,berjalan mendekat. Bagus! Tapi tunggu,ada sesuatu digiginya. Tidak! Seseorang tolong katakan itu—
“TRAKK.”

-                     To be continued -

            

Senin, 16 Mei 2016

RE- BIRTH



“Aku takut.... Aku takut jika tiba – tiba saja tuhan mencabut nyawaku saat aku bersamamu.”
“Aku percaya.. kau akan kembali dan bersua lagi.”


            Rintik air hujan menyapu semua emosi yang pernah singgah dihati semua insan. Terkadang ia datang untuk menghibur,terkadang ia datang membawa lara. Tapi,nenekku selalu bilang hujan adalah anugerah dari Tuhan. Perantara Tuhan untuk menyampaikan cintanya lewat tangan – tangan alam untuk para hamba-Nya yang mungkin sedang bimbang.
            Well,mungkin kau akan tertawa saat tau kata – kata tadi terlontar dari mulut seseorang yang hina sepertiku. Mungkin hanya sedikit anugerah ditengah kebimbanganku saat ini. Kau tau bukan? Enggak semua malaikat dengan Cuma – Cuma turun buat ngehibur manusia yang kesepian. Apalagi cewek lusuh sepertiku. Hahaha,toh aku juga enggak ngarep.
            Kuusap kaca tipis berembun itu dengan ujung telunjuk yang mulai memucat. Kupaksakan senyum ringkih terpasang dibibir pecah – pecah saat seorang suster cantik paruh baya mengetuk pintu kamar.
            “Riessa sayang,kau sudah siap?” tanyanya lembut kearahku
            Sejenak kelemparkan pandangan kearah kerumunan orang yang berlalu lalang dibawah sana. Terlihat seorang pemuda berpayung transparan nampak terburu – buru dengan bibirnya yang terus – terusan mengepulkan asap putih tipis,bibirnya terlihat biru. Aku terkikik kecil,entah kenapa air mataku meleleh,cepat – cepat kuhapus dengan sebelah tangan dan bergegas membalas senyum sang suster yang masih berdiri didekatku.
            “Sudah dong Sus. Udah pasti malahan,haha.” Balasku jenaka
            Pandangan lembutnya berubah menjadi penuh simpatik. “Berjuanglah.” Ujarnya singkat,lantas berjalan kearahku.
            “Thanks,Sus.” Balasku.”Ummm.... Boleh aku minta satu permohonan?”
            Derai hujan menambah intensitasnya,angin senja menerobos masuk kedalam ruangan. Mencoba membekukan suasana bimbang.
****
            “Kau bisa lebih cepat? Dasar sapi gendut!”
            Cowok itu bersungut – sungut,rambut hitam gelapnya terlihat senada dengan iris matanya yang kini menajam. Pipinya yang merah menggembung bagai tomat,baju putih – krem musim panasnya membuatnya terlihat elegan walau kini wajahnya benar – benar semerah kepiting rebus.
            “Aku udah berusaha cepat tau! Kakimu saja yang kepanjangan,weeeek.” Balasku sambil menjulurkan lidah jahil. “Dan lagi,aku bukan sapi dan aku tidak gendut! Ingat itu William Cedric!”
            Will memutar matanya bosan. “Kalau kau bukan sapi lalu apa? Ulat tikar gembul,huh?” telunjuk lentiknya menunjuk kubangan air tak jauh dari tempatnya berpijak.”Kau harus sering – sering berkaca,Riessa Vien.” Tambahnya sok keren.
            Will menarik lenganku kasar sambil mengomel tak jelas,rambutnya acak – acakan dimainkan angin. Terlihat keren. Lima detik kemudian,ia tersenyum lebar,memamerkan sederetan gigi putihnya. Telunjuknya menunjuk sebuah gubuk sederhana ditengah – tengah padang bunga. Aku mengangguk,mengerti isyaratnya dan ikut berlari lepas menerobos hamparan bunga yang bergoyang.
            Kurebahkan tubuhku bebas saat tiba digubuk. Tawa hangat menguar dibawah sengatan sinar mentari. Will menjejerkan isi ranselnya dihadapanku. Banyak sekali buku – buku disana. Bibirnya mengerucut saat bingung buku mana yang ingin ia tunjukkan padaku. Aku terkikik melihatnya.
            “Ini dia!” ujar Will bangga. “Aku diam – diam mengambilnya dari rak – rak buku tertutup diperpustakaan. Teknologi SAINS modern,disini tertulis bagaimana cara mengatasi Leukimia lohh!” jelasnya dengan tatapan berbinar – binar.
            Kunaikkan sebelah alis. “Berarti sama aja kamu nyuri dong? Itu enggak baik,Will.”
            Will mendengus.”Aku enggak nyuri,dasar cewek sapi! Kalopun enggak aku ambil dua hari lagi buku – buku itu bakal dimasukkan kegudang dan malah akan jadi kasurnya para kecoa. Kan sayang!” belanya. “Lagian,aku bawain buku ini karena aku pengen kamu sembuh.” Tatapannya menjadi melembut sekarang.
            Kugenggam kedua telapak tanganku sendiri,aku baru sadar. Sudah empat tahun sejak aku divonis dokter. Selama itu penyakit yang katanya berbahaya ini bersemayam dalam tubuh kurusku. Aku enggak ngerti itu penyakit apa. Well,umurku sekarang baru 10 tahun,wajar dong. Mirisnya lagi,karena penyakit ini juga,aku enggak pernah tau rasanya jadi siswi suatu sekolah. Kalau – kalau apa peri nyasar datang dan menawariku permohonan,pasti sudah kujawab “pengen sekolah”. Haha.
            Jangankan bermain dengan teman sebaya,teman aja enggak punya. Maklum,sedari kecil aku terisolasi dari lingkungan anak – anak karena penyakit ini juga. Karena penyakit ini juga,kedua orang tuaku bercerai dan pergi entah kemana. Hanya Will,satu – satunya anak yang mau berteman denganku semenjak pertemuan kami 2 tahun lalu. Kami bertemu dirumah sakit,saat itu Will dirawat,kepalanya terluka karena jadi korban salah sasaran perkelahian disekolahnya.
            “Woii! Jangan ngelamun! Main kedanau sana yuuk!”
            Teriakan Will menyadarkanku,padahal sedikit lagi mungkin ada hujan dimataku. Cowok pawang hantu didepanku ini memang satu – satunya teman yang bersikeras merayu perawatku supaya aku bisa keluar meski hanya sebentar,untuk sekedar menikmati dunia. Soalnya aku juga enggak tau kan,kapan waktu terakhirku didunia ini. Well, mungkin William adalah malaikat yang dikirimkan Tuhan untukku. Malaikat yang membuat hari – hariku berwarna.
            “Will,aku enggak bisa lama – lama loh!” ujarku masam. “Suster Edith pasti akan memarahimu lagi.”
            Will menepuk dadanya sok keren. “Aku enggak takut sama nenek lampir kayak dia.”
            “Siapa yang Nenek Lampir,huh?!”
Terdengar suara wanita paruh baya melengking dibalik punggung Will. Rambutnya yang digelung rapi lengkap dengan pakaian putihnya. Tidak salah lagi,itu Suster Edith.
            Aku hanya bisa nyengir saat melihat Will dimarahi karena kejahilan,keteguhan dan sifatnya yang keras kepala itu. Hari – hari seperti itu terus berlanjut,diiringi oleh canda tawa Will dan omelan Suster Edith dan diakhiri dengan pil ultra pahit setiap malamnya. Kuharap semua itu bisa terus berputar bagai siklus,namun itu hanya harapan naifku.
            Kini,enam tahun berlalu,Will semakin jarang datang kesini untuk sekadar mengajakku main ataupun curhat tentang teman – temannya yang berbuat jahil atau menjauhinya. Maklum,itu hal lumrah,notabene sekarang Will seorang siswa sekolah menengah atas. Dengan dia yang rendah hati dan cerdas,si pawang hantu itu mungkin sudah kebanjiran banyak job dan tugas.
            Jika dihitung – hitung,sudah 2 bulan,William enggak memunculkan batang hidungnya dihadapanku. Mungkin aja,Riessa Vien sudah jadi onggokan memori diotaknya,but,no problem. Aku tetap menantinya,karena enggak ada orang lain yang bisa kunanti lagi sih. Suster Edith juga menemaniku setiap hari,itu juga udah lebih dari cukup. Haha..
            Tapi kalo boleh – hanya kalo boleh – aku pengen banget,ngomong yang – mungkin – terakhir kalinya dengan seorang William Cedric. Bukan hal aneh sih,tapi yahh. Cewek gembel kayak aku udah sering banget ngerasain dinginnya jarum operasi,ini udah menjelang ke 7 kalinya. Tapi ada yang beda dengan operasi kali ini. Nampaknya akar dari penyakit Leukimia ini sudah menjangkau banyak organ vital tubuhku.
            Operasi kali ini adalah yang terakhir. Kesempatan sukesnya hanya 50% . jika berhasil aku akan sembuh total,namun jika tidak,aku mungkin segera meniti tangga – tangga cahaya langit. Ngomong – ngomong,aku enggak jago taruhan,jadi enggak tau mana yang bakalan terjadi.
            Tuhan memang adil,seakan mendengar permohonanku,derap kaki terdengar dilorong,disusul dengan daun pintu yang diputar. Angin berdesir bagai symphony alam yang benar – benar sempurna. Sosok tegap itu kini berdiri dihadapanku,rambut hitamnya masih saja acak – acakan. Air mukanya kusut,sulit terbaca. Napasnya masih tak lancar,terlihat seperti ada yang mengganjal dipikirannya.
            “Ha – Hai,Riees” Sapa sosok itu canggung. Ya,sosok itu,William.
            Kupasang senyum getir dibibir pucat. “Hai.” Balasku singkat. “Kamu lelah kan? Duduklah.”
            William berjalan gontai,duduk dengan gusar dikursi lusuh didekat ranjangku. “Bagaimana kabarmu,Riess?”
            “Enggak begitu yakin,yang jelas aku masih hidup.” Kulihat William tersenyum atas jawabanku. Iseng,tanganku merogoh sebuah buku yang sudah usang dari balik selimut. “Aku menuruti saran buku ini.” Tambahku puas.
            William terbelalak,terlihat jelas dia mati – matian menahan napas agar butiran air dibulu matanya yang lentik itu tidak terjun bebas. Dia masih keliatan keren kok,haha..
            “Maaf ya.” Celetuk Will.”Guruku memberiku tugas diluar negeri. Orang tuaku juga sibuk akan banyak hal yang dibutuhkan untuk berkarir. Maafkan aku yang hampir lupa padamu. Padahal kamu masih saja menyimpan pemberianku yang enggak ada artinya itu.”
            Aku mendelik. “Ini berharga tau! Buku ini kan simbol harapanmu, jangan lupa Will! Aku berhasil bertahan selama 10 tahun ini karena ada kamu dan Suster Edith. Mana mungkin aku marah kekamu. Dasar pawang hantu aneh!” balasku sambil tertawa.
            Will bergeming,air matanya kini sukses terjun bebas diwajah rupawannya. Namun bibirnya mengukir sebuah senyuman ikhlas yang menyejukkan. Angin senja meniup tirai dinding pucat yang sedang menari. Saat tertimpa sinar mentari senja,wajah Will benar – benar tampak bak malaikat.
            “Aku senang kok,bermain bersamamu itu menyenangkan. Karena mungkin Cuma itu yang bisa kurasakan. Bisa dibilang tingkah songongmu itu,sumber kehidupanku. Thanks loh Will. Aku enggak bisa ngebayangin kalo kamu enggak ada.” Kini bibirku mulai gemetar,pandanganku mulai kabur. “Lusa pagi adalah operasiku yang ketujuh,terakhir. Hei,kalo aku enggak kembali,tolong buat Suster Edith tersenyum yaak! Soalnya cuman kamu dan dia yang aku kenal. Okay ?!”
            Sempat kulihat bibirnya gemetar,namun Will mengangguk. “Aku pasti akan menemanimu saat operasi.”
            “Enggak perlu,kalo aku meninggal dihadapanmu,itu hal paling seram dalam hidupku.”
            Kali ini William tertawa lepas. “Aku janji enggak akan mewek dihadapanmu. Kalopun jasadmu udah enggak ada didunia ini,aku yakin jiwamu akan terlahir kembali dan menemuiku disini. Aku yakin.”
            Pandanganku buram,meski kudengar suaranya,lidahku kelu untuk menyahuti. Entah apa yang terjadi,namun semuanya berubah menjadi hitam.
****
            “Aku punya satu permohonan.”
Suster Edith menatapku iba. “Katakan,aku akan berusaha menyanggupinya.”
“Thanks.” Balasku sambil tersenyum. “Aku sudah memberi Will jadwal operasiku yang salah,tapi aku tau dia akan tetap datang kesini tepat waktu. Tolong jangan,biarkan dia melihatku saat aku sekarat. Kumohon.” Tambahku.
            Suster Edith seakan tersambar petir mendengarnya,air mukanya menjadi tak yakin. “Itu mustahil,Riess. Will itu kan –“
            “Kumohon,kali ini saja.” Desakku.
            Para dokter tiba dan bersiap memindahkanku keruang operasi,Suster Edith mengangguk gemetar. Walau aku tau,sulit baginya menyanggupi permohonanku. Will sudah ada dibawah,melihatku sekarat,mungkin saja bisa mempengaruhi kesehariannya. Jelas aku enggak mau jadi beban baginya lagi,sudah cukup aku menjadi beban disini,sedangkan orang yang melahirkanku sudah hilang entah kemana.
            Lampu operasi dinyalakan,masih sempat kudengar teriakan Will yang membabi buta diluar sana,mencoba menentang Suster Edith. Kusunggingkan,senyum selagi aku bisa,diiringi dengan setetes bulir air bening yang terjun dari mataku yang sayu.
            Jarum bius menembus kulitku,kurasakan kesadaranku melayang kemasa – masa kecilku yang indah. Berlarian dipadang bunga,bercekcok dengan Will dan dimarahi Suster Edith. it’s really sweet memory. Sayang harus kutinggalkan disini,rasanya ingin kudekap hingga ke kehidupan yang selanjutnya.
            Banyak waktu terlewat,kubuka mata dan kudapati wajah kecewa para dokter,sudah kuduga,ini memang sudah saatnya. Pintu ruangan didobrak keras,Will muncul dari sana dengan mata memerah dan benar – benar sembab. Padahal ia berjanji tidak akan menangis. Ia berlari kearahku tanpa memerdulikan hardikan para dokter.
            Mulutnya berkomat – kamit melontarkan banyak hal yang enggak lagi dapat ditangkap telingaku. Tangannya yang dingin menggenggam tangan lunglaiku,matanya mencurahkan segala yang ingin dia katakan. Lidahku kelu,tubuhku mati rasa. Tak ada yang bisa kulakukan untuk meresponnya kecuali air mata yang mengalir tulus.
            Suster Edith ada disana,menutupi hidungnya dengan saputangan pucat kesukaanya. Sarafku rasanya mati,otakku seakan mengisyaratkan bahwa ia telah bebas tugas. Mungkin inilah saat ku untuk meninggalkan semua kenangan indah dengan mereka.
            Hanya sedikit kata – kata Will yang berhasil kutangkap.
            “Kami menunggumu. Kami Mencintaimu! Kuharap kamu bisa kembali kesini suatu saat nanti. Ingatlah aku menunggumu! Aku menyayangimu seumur hidupku. Kumohon,tersenyumlah!”
            Meski hanya sedikit sudut bibirku yang bisa kutarik,aku berusaha sebelum rasa kantuk luar biasa itu menarik kelopak mataku kuat – kuat. Diiringi senyum – tangis William Cedric dan Suster Edith Millbrugh.

-FIN-

           
           
             

Rabu, 11 Mei 2016

Alone


“Sendiri?
Ahh,kurasa aku tak perlu menjelaskan bagaimana rasanya.
Mungkin kebanyakan dari kalian akan mengira sendiri itu menyedihkan.
Well,aku sudah biasa ditinggal sendirian dirumah.
Yea,aku enggak takut, i’m a gentleman
Tapi setelah mendengar kisahku yang satu ini,mungkin kau akan berubah pikiran.
Pikirkan lagi jika kau sendirian dirumah,
Because.may be ‘you’re not alone”

            “Ting”
Sebuah ringtone pendek berdenting dari arah ponsel hitam yang sedari tadi tergeletak disebelahku. Aku tak terlalu menghiraukannya karena saat itu jemariku tengah lihai berdansa diatas joystick kesayanganku. Dengan bosan,kulirikkan mata kearah jam yang masih saja berdetak didinding putih pucat itu.
“Pukul 7 malam” gumamku pendek. Sedikit menghela napas sembali melirik kearah pintu kamar yang masih saja menyembunyikan isinya seakan malu – malu untuk menyapa. Yea,pintu itu berdiri kokoh tepat disamping pintu kamar tidurku.
            Untuk kedua kalinya aku kembali menghela napas,dengan langkah malas kulempar joystick pelan lantas menyambar handphone yang sedari tadi sudah bercit – cat ria gara – gara seseorang diujung sana aktif men – send pesan konyol padaku.
            “Astaga,tak bisakah kau mengirimkan pesan yang lebih konyol lagi padaku tang? Rasanya hambar.”
            Jemariku menari diatas layar ponsel dan....
            “Sreet”
Seluruh penerangan dalam rumahku kini padam. Rasanya duniaku sudah hilang ditelan kegelapan.
            “Bagus,Petugas listrik itu enggak kenal namanya malam,huh?” kini kuarahkan handpone – satu – satunya penerangan yang ada didekatku kerah daun pintu yang masih menutup rapat.
            “Ayah dan Bunda lama sekali.” Entah sudah berapa kali aku mengeluh hari ini,dan mungkin, Tuhanpun bosan dengan keluhanku yang setopik ini.
            Jam dinding telah menunjukkan pukul setengah 8 malam, and i’m still alone. Sebenarnya enggak sendirian juga sih. Ada dua ekor kucing yang sedang tertidur lelap dikandangnya dan satu orang gadis kentang yang kini sedang ber cit – chat ria lewat messenger denganku dari ujung  sana.
            Tapi intinya tetap saja,aku satu – satunya manusia yang tinggal dirumah maam ini. Temaram api lilin diatas meja berkobar dimainkan angin malam. Entah kenapa kurasa bulu kudukku meremang. Namun sedetik kemudian,kugelengkan kepala dan lanjut membalasi pesan diponselku.
            Saat itu,aku tak sengaja menatap pintu yang mengarah pada dua ekor kucing kesayanganku. Sejenak aku masih memamerkan cengiran karena berhasil menjahili cewek kentang goreng diseberang sana,tapi dua detik kemudian,cengiran itu lenyap. Kali aku benar – benar merasa ada yang aneh,ada sesuatu yang dingin dan asing. Yang kurasakan kini tengah menatapku dari atas pintu. Menatapku tajam seolah tak ingin aku berada disini.
            Dengan tengkuk yang mulai terasa dingin,kuketikkan sebuah pesan kepada temanku diujung sana :
            “Damn! Gue ngerasa ada yang ngeliatin gua dari atas,dipintu deket kandang kucing”
Aku menelan ludah ketika selesai mengirimnya,sepasang mata invisible itu rasanya masih saja memandangku. Sesaat kemudian,pesan balasan masuk :
            “Ignore aja,mereka itu sebenarnya sungkan,kalo kamu cuek kemereka”
            “Mungkin gue terlalu handsome sampek – sampek dapet fans dari dunia lain, lhole.” Balasku jahil. Kini aku tak lagi merasakan tengkukku dingin,apalagi saat kudengar pintu gerbang rumahku digedor – gedor.
            “Riall! Buka pintunya nak.”
            Suara Ayah.
            “Thanks God” teriakku sambil berlari menuju gerbang dengan ponsel disaku celana. Namun lagi – lagi bulu kudukku meremang saat kusadari pintu kamar disebelah kamarku yang sedari tadi tertutup kini terbuka lebar. Padahal aku ingat dan masih sadar kalau Ayah dan Ibu pergi beberapa jam yang lalu dan kini ayah baru kembali.
            “Riall! Cepat bukakan nak! Diluar dingin.” Teriak suara Ayah dari balik gerbang.
            “Sebentar yah!” Sahutku dan mulai melangkahkan kakiku enteng. Namun...
            “Tap” sesuatu yang dingin menyentuh pundakku lembut.
            “Jangan dibukakan nak,Ayah juga mendengarnya.”
“DEG”
Suara Ayah kini berada dibelakangku,sedangkan yang diluar tetap menggedor pagar. Lilin penerangan memudar dan dunia seakan pecah dalam selimut hitam.

-END-


Jumat, 06 Mei 2016

History



“Mungkin kali ini kau masih berdiri disana. Menatapku sayu dan kecewa.
Atau tengah terisak melihat sejuta kekurangan yang kumiliki sekarang
Ditengah derai hujan,bibir mungilmu merapalkan sebuah kata – kata
Yang suaranya takkan pernah bisa kudengar lagi
Saat ini,esok,lusa atau bahkan selamanya”

            Dulu,dulu,mungkin seseorang pernah merasa dirinya pernah mencapai misi yang ia tetapkan. Mungkin,semasa mereka masih anak – anak. Kebanyakan para orang dewasa menyesali apa yang tak bisa lakukan dimasa lalu. Sebagian besar remaja rindu akan masa kecilnya. Saat mereka berlarian ditanah lapang,atau bahkan saat mereka tak sengaja mengunyah tanah tanpa ada yang memarahi.
            Saat kau menyadarinya,mungkin saat itu kau sadar,‘dia’ memandangimu dari tempatnya yang nun jauh disana. Sesekali ia tersenyum sumringah,khawatir,marah dan berkali – kali ingin meraihmu yang sudah tak bisa dijangkaunya. Ia yang selalu terisak saat kau salah arah,yang bahkan mungkin berkali – kali berteriak saat harga dirimu jatuh. Berusaha berkomunikasi denganmu,menggerakkan bibir mungilnya yang mungkin telah membiru.
            Kau ingat?
Mungkin suatu hari kau pernah mengucap janji,yang mungkin tak pernah bisa kau tepati. Saat sebagian dirimu berusaha melupakannya,’dia’ masih tetap disana menampung janji dan penyesalanmu.
            ‘Dia’ akan selalu bahagia saat kau menemukan hal yang pernah kau impikan. Tersenyum disaat kau membaur dengan orang – orang baru yang – mungkin – menyayangimu. Dia tetap disana,terkadang kau bisa melihatnya dalam memori yang telah dipendam oleh sudut otakmu,berusaha mengucap sebuah kata – kata yang sering kau senandungkan,namun takkan pernah bisa kau dengar lagi suaranya.
            Ya.
            ‘Dia’ akan selalu mengawasimu,selalu berusaha menggapaimu. Ia tidak meninggal,ataupun lenyap. Bukan juga tak terlihat,tapi kadang keberadaanya ditolak. Ia adalah bagian dari hidup yang sudah tersegel rapi dalam space storage otak. Karena ‘dia’ adalah bayangan masa lalumu. “Kau Sahabat Terbaikku”

luvne.com ayeey.com cicicookies.com mbepp.com kumpulanrumusnya.com.com tipscantiknya.com